web 2.0

Monday, February 22, 2010

Tindak Cukong Illegal Logging dengan UU Pencucian Uang

.
Puluhan tahun, Pemerintah Indonesia berjuang mencari solusi, namun upaya pemberantasan illegal logging belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Alhasil, illegal logging tetap marak terjadi, dan membawa dampak negatif tidak hanya terhadap masyarakat tetapi juga lingkungan.
Berdasarkan catatan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), penegakkan hukum illegal logging memang cukup memprihatinkan. Sebagai gambaran, dari 1.031 kasus yang terjaring dalam operasi Wanalaga dan Wanabahari –operasi gabungan Departemen Kehutanan, Polri, dan TNI- pada tahun 2001, tidak ada satupun kasus yang dapat diproses sampai pada tingkat pengadilan. Pada tahun berikutnya, dari 971 kasus yang terjaring tidak satupun yang berlanjut ke tingkat pengadilan. Ditemui dalam acara “Konferensi Nasional Pemberantasan Kasus Illegal Logging melalui Pendekatan Kejahatan Kehutanan, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Korupsi” (30/8), Direktur Tindak Pidana Tertentu Mabes Polri Brigjen Pol Suharto menegaskan bahwa Polri sangat serius dalam memberantas kejahatan illegal logging di Indonesia. Namun, Suharto mengatakan memberantas illegal logging bukanlah pekerjaan mudah karena illegal logging adalah kejahatan yang memiliki karakteristik khusus dan telah menyebar di seluruh Indonesia. “Persoalan illegal logging memang rumit karena sudah dapat dikategorikan extra-ordinary crime, tetapi kita jangan pesimis dan menyerah begitu saja,” tukasnya. Maka dari itu, Suharto memandang upaya pemberantasan illegal logging perlu dikorelasikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti UU Kehutanan, UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Lingkungan Hidup, dan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Khusus untuk tindak pidana pencucian uang (money laundering), Suharto menginformasikan bahwa Kepolisian dalam beberapa kasus telah berhasil menerapkan UU No. 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sejauh ini, aliran uang hasil kejahatan illegal logging masih berputar di dalam negeri, belum ke bank-bak di luar negeri. Sayangnya, Suharto tidak dapat menyebutkan jumlah yang pasti berapa pelaku illegal logging yang berhasil dijerat dengan UU Money Laundering. Menjaring para cukong Menurut Suharto, penerapan UU Money Laundering sangat bermanfaat untuk menutup kelemahan UU Kehutanan maupun UU Lingkungan Hidup. Selain itu, dengan menerapkan UU Money Laundering, aparat penegak hukum juga dapat menjaring para ‘cukong-cukong’ (bos, red.) illegal logging. “Kasus illegal logging kan melibatkan uang milyaran rupiah jadi pelaku tidak ada pilihan lain selain menggunakan jasa perbankan. Dengan begitu, aliran uangnya bisa diketahui,” sambungnya.
Indro Sugianto, Direktur Eksekutif ICEL, menyatakan prihatin karena walaupun Pemerintah telah bertekad memberantas illegal logging, namun pada kenyataannya penindakkan terhadap pelaku illegal logging belum menyentuh para cukong. Sejauh ini, praktis hanya pelaku-pelaku di lapangan seperti penebang, supir angkutan, dan pembawa mesin potong. “Sulitnya menjerat dalang utama pembalakan liar tidak terlepas dari keterlibatan oknum parat penegak hukum,” ujarnya. Agar dapat menjerat para cukong, Indro mengusulkan agar dalam penanganan kasus illegal logging tidak hanya mengandalkan pada penemuan pelaku dan bukti fisik di lapangan, tetapi juga menelusuri transaksi keuangan hasil illegal logging. Untuk itu, Indro sependapat dengan Suharto agar UU Money Laundering juga diterapkan dalam penanganan kasus illegal logging. Selain itu, Indro juga mengharapkan adanya kolaborasi antara aparat penegak hukum dengan kelompok masyarakat sipil yang selama ini aktif memantau dan menginvestigasi kasus-kasus illegal logging. Salah satu wadah untuk mewujudkan kolaborasi ini, misalnya dibentuk report panel yang bertugas untuk menerima dan menyortir laporan masyarakat tentang adanya kejahatan illegal logging. “Tujuannya, supaya laporannya lebih valid,” imbuhnya. Indro memandang mekanisme pengaduan masyarakat yang akuntabel dan transparan juga perlu dimasukkan dalam RUU Pemberantasan Kejahatan Hasil Hutan yang saat ini baru sampai pada tahap konsultasi publik.

Saturday, February 6, 2010

kopenhagen sebuah solusi atau hanya retorika

Bagai sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itu barangkali kata yang tepat bagi warga negara Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, berbagai krisis akibat eksploitasi sumber daya alam terjadi dan terus meningkat. Kini, diperparah oleh perubahan siklus alam yang tidak lagi dapat diprediksi oleh mereka yang menggantungkan hidupnya dari alam, para petani, nelayan maupun warga yang tinggal di tepi hutan. Belum lagi berjalan dokumen satu, datang dokumen lain dari Bappenas, yaitu “National development planning: Indonesia responses to climate change". Ini cukup membingungkan publik, karena dokumen tersebut tak pernah sampai di masyarakat bawah. Lucunya, kebijakan satu dan lainnya cenderung tak berhubungan, bahkan saling bertabrakan. Buktinya, ada Permentan No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit yangmembuka kemungkinan pembukaan lahan gambut lebih luas. Padahal, karena pembukaan dan pembakaran lahan gambut, Indonesia telah menjadi pengemisi ketiga Alih-alih mengatasi masalah perubahan iklim, pemerintah justru meningkatkan kerentanan warganya menghadapi perubahan iklim. Jika ini diteruskan, maka pengabaian hak-hak kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, masyarakat adat dan masyarakat pesisir ini akan semakin memiskinkan mereka. Jelas, kondisi beberapa wilayah Indonesia diatas menunjukkan status keselamatan warga yang makin memburuk. Mereka terus dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sulit, bahkan tak memiliki
Sejak Indonesia menjadi tuan rumah COP 13 di Bali, masih banyak tantangan yang perlu di jawab. Apalagi, selang 3 bulan setelah COP13 pemerintah mengeluarkan dua paket kebijakan kehutanan yang kontroversial. PP 2 tahun 2008 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan dan PP 3 tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan. Kedua kebijakan yang memicu perusakah hutan lebih luas, menunjukkan pemerintah salah arah melihat permasalahan perubahan iklim. Celakanya, Di tengah berbagai rencana dan kebijakan yang dimiliki Pemerintah negosiasi di tingkat internasional juga mengalami “stagnansi”. Perundingan yang alot dalam mempertemukan kepentingan negara industri dan kebutuhan negara berkembang, masih terus bergulir. Tapi, akhir tahun ini seluruh dunia harusnya sudah memutuskan komitmen nyata menurunkan emisi negara-negara industri dan mekanisme pembiayaannya. Namun, melihat putaran perundingan yang terjadi hingga putaran terakhir di Bangkok, nampaknya harapan dunia dipertaruhkan pada pertemuan Copenhagen, Desember 2009.
Hambatan terbesar mentoknya perundingan dan negosiasi para pihak dalam Konferensi PBB tentang perubahan iklim adalah masih adanya gesekan antara negara maju dan berkembang. Pertemuan COP15 di Kopenhagen pun semakin jelas menunjukkan kemungkinan tidak akan tercapainya kesepakatan seperti yang dimandatkan oleh Bali Roadmap. Kendati demikian, Ketua Delegasi RI, Rachmat Witoelar, mengatakan bahwa hambatan dari negara maju kemungkinan akan mencair jika Presiden Amerika Serikat Barack Obama menyampaikan sesuatu yang mendorong ke arah kesepakatan yang lebih baik. "Mungkin, kalau Obama menyampaikan sesuatu yang menyejukkan, maka akan diikuti oleh yang lain. Kita lihat saja," kata Rachmat di Kantor Delegasi RI di lokasi pelaksanaan COP15, Kopenhagen, Denmark. Rachmat mengungkapkan, proses dan pembicaraan yang berlangsung di Kopenhagen sudah sesuai seperti dimandatkan Bali Roadmap yang merupakan hasil COP13 di Nusa Dua Bali pada 2007. Bali Roadmap menjadi keputusan

Ekologi Manusia

Ekologi Manusia, menurut Amos H Hawley dalam tesisnya dikatakan Ekologi manusia, dengan demikian bisa diartikan, dalam istilah yang biasa digunakan, sebagai studi yang mempelajari bentuk dan perkembangan komunitas dalam sebuah populasi manusia Frederick Steiner dalam teorinya mengatakan, Ekologi Manusia Baru menekankan pada over-reduksionisme yang cukup rumit, memfokuskan pada perubahan negara yang stabil, dan memperluas konsep ekologi melebihi studi tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan menuju keterlibatan manusia. Pandangan ini berbeda dari determinisme lingkungan abad ke-20 Menurut Gerald L Young dalam teorinya dikatakan, Dengan demikian ekologi manusia, adalah suatu pandangan yang mencoba memahami keterkaitan antara spesies manusia dan lingkungannya.
Persamaan dari ketiga definisi yang dikemukakan di atas adalah bahwa pengertian “Ekologi Manusia” merujuk pada suatu ilmu (oikos = rumah/tempat tinggal ; logos = ilmu) dan mempelajari interaksi lingkungan dengan manusia sebagai perluasan dari konsep ekologi pada umumnya.Perbedaaan dari ketiga definisi tersebut adalah pada titik tekan (emphasizes) para pakar dalam mendefinisikan “Ekologi Manusia”, yang masing-masing sebagai berikut. Hawley menekankan pada studi tentang bentuk dan perkembangan komunitas dalam sebuah populasi manusia (masyarakat) –dalam kaitannya dengan lingkungan. Steiner menekankan pada era baru ilmu “Ekologi Manusia” yang memperluas dari ekologi yang hanya mempelajari lingkungan tumbuhan dan hewan menuju keterlibatan manusia secara kompleks). Young menekankan pada keterkaitan (interaksi) antara manusia dan lingkungannya saja.
Ruang lingkup Ekologi Manusia menurut Hawley dikatakan Jadi ruang lingkup Ekologi Manusia menurut Hawley adalah sebagaimana pernyataannya, “Ekologi Manusia, sebagaimana ekologi tumbuh-tumbuhan dan manusia, merepresentasikan penerapan khusus dari pandangan umum pada sebuah kelas khusus dalam sebuah kehidupan. Ini meliputi dua kesadaran kesatuan mendasar dari lingkungan hidup dan kesadaran bahwa ada perbedaan dalam kesatuan tersebut. Manusia, sebagaimana kita tahu, tidak hanya bekerja dalam sebuah tempat jaringan kehidupan, melainkan dia juga mengembangkan di antara anggota-anggotanya sebuah pengalaman hubungan lingkungan yang sebanding dalam tanggungjawab pentingnya atas lingkungan hidup yang lebih terbuka.” Steiner menyatakan bahwa ruang lingkup ekologi manusia adalah meliputi tiga, sekelompok hal yang saling terkait, ciri-ciri yang integrative dan Perancah tempat dan perubahan

Thursday, February 4, 2010

PERUBAHAN IKLIM DI MATA DUNIA INTERNATIONAL

Cikal bakal terbentuknya kesepakatan protokol kyoto
Perubahan iklim menjadi isu yang mendunia di kemudian hari, pada waktu rutinnya digelar pertemuan-pertemuan dari WMO (World Meteorology Organitation) di pertengahan tahun 1980-an, dari hasil pertemuan tersebut ditemukan berbagai penelitian dan data yang menggambarkan kaitan yang erat antara peningkatan konsentrasi CO2 dengan peningkatan temperatur ratarata permukaan bumi. Demikian pula dengan perkiraan dampak yang akan ditimbulkannya kedepan. Perkembangan berikutnya WMO bersama dengan UNEP (United Nations Environment Program) melakukan sebuah pertemuan yang pada intinya membahas tentang fenomena iklim ini, dan akhirnya mengahasilkan pula kesepakatan yakni IPCC (Intergovernmental on climate change, IPPC sendiri merupakan kelompok para ilmuan dari seluruh dunia yang bertugas untuk meneliti fenomena iklim serta solusi yang diperlukan.
Dari hasil kegiatan yang dilakukan oleh IPPC yang di dalamnya berkumpul pakar-pakar iklim se-dunia menghasilkan sebuah laporan yang dikenal sebagagi FAP (Firest Assessment Report) yang berarti adanya sebuah peringatan yang sangat berbahaya ke depannya karena merujuk pada data yang didapatkan dari hubungan konsentrasi CO2 dan suhu yang mengalami peningkatan. Laporan tersebut dijadikan sebagai rekomendasi terhadap PBB selaku Organisasi perserikatan yang menghimpun ratusan negara untuk sesegera mungkin ditindak lanjuti. Ketika disodorkan Majelis umum PBB kemudian menyetujui untuk ditindak lanjuti maka setelah itu diadakanlah pertemuan INC (Intergovernmental negotioting commite) sebagai negosiasi awal kemudian setelah itu disepakatilah adanya UNFCCC (United Nations Framework Convention Climate Change.
Sejak berdirinya UNFCCC maka rutin dilakukan pertemuan-pertemuan international tentang bagaimana menanggulangi dampak yang nanti ditimbulkannya, dari konvensi-konvensi yang dilakukan hingga konfrensi tingkat tinggi (KTT) diadakan, maka dihasilkan sebuah kesepakatan yakni Protokol Kyoto dari kegiatan yang dikenal hingga sekarang yakni COP (conference of parties),
Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan international yang menunjukkan upaya yang sangat serius dalam menghadapi perubhan iklim. Protokol kyoto memungkinkan diterapkannya mekanisme flesibilitas, ke tiga mekanisme tersbut adalah :
1. JI (Join Implementation), kerja sama antara sesama negara Annex I (negara maju) dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca, biasanya ini dilakukan dengan investasi asing antara negara Annex I yang diimbali dengan unit penurunan emisi (Emisi Reduction Unit) ERU
2. International Emission Trading (IET) perdagangan ERU antara negara Annex I
3. Clean Development Mechanism (CDM) pada dasarnya adalah guabungan dari JI dan IET yang berlangsung antara negara Annex I dengan negara non Annex I dengan persyaratan mendukung pembangunan berkelnajutan di negara non-Annex I, komoditas yang digunakan bukanlah ERU melainkan CER (Certifiated Emissions Reductions) yaitu jumlah penurunan emisi yang telah disertivikasi.

REDD sebagai bentuk kerja sama perdagangan karbon
Di sektor kehutanan karena adanya perdaganan carbon antaran negara Annex I dengan negara berkembang maka insentif dana juga mudah menucur bahkan dengan alasan pembangunan berkelnjutan di negara berkembang, namun olh walhi dinilai cacat, di sektor kehutanan terdapat bentuk kerja sama dengan negara Annex I yakni REDD.
REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in developing countries) adalah mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, REDD merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor kahutanan. Mitigasi yakni berhubungan dengan cara kita mengatasi sumber atau penyebabnya. Kita memerlukan keduanya karena saling melengkapi. Para ilmuwan memperkirakan bahwa pengaruh emisi pada masa lampau masih akan terasa meskipun mitigasi terhadap emisi GRK sudah dilakukan. Karena itu adaptasi masih akan diperlukan. Mengapa beberapa kalangan mengaggap REDD cacat karena berangkat dari penilaian bahwasanya Negara maju yang tergabung dalam Annex I seakan-akan melepas tangan dengan penurunan emisi carbon di dalam negaranya kemudian melimpahkan negara lain sebagai tempat penyerapan karbon yang dihasilkan dari kegiatan industri negaranya, juga dengan adanya perdagangan karbon tersebut hak masyarakat adat pula kedepan akan diambil pula karena adanya bentuk baru intervensi dari negara lain yang melakukan kegiatan aforestasi dan reboisasi.

Neoliberalisme Mengakibatkan Pemanasan Global

Banyak yang menganalisis bahwa pemanasan global adalah penyebab banjir, kekeringan, atau kelaparan yang mengancam planet dan umat manusia saat ini. Hal itu jelas salah kaprah, karena pemanasan global bukanlah fenomena baru, bukan pula fenomena yang terjadi tiba-tiba dari langit (given atau taken for granted). Jika dianalisis secara mendalam, pemanasan global sesungguhnya bukanlah sebab, ia adalah akibat. Ia adalah akibat dari mode produksi kapitalistik. Mode produksi kapitalistik inilah yang seharusnya dianalisis lebih lanjut sebagai permasalahan utama yang menyebabkan pemanasan global. Analisis terhadap penyebab pemanasan global ini juga harus dilakukan secara holistik, tidak sektoral seperti saat ini yang cenderung mengambil sudut pandang lingkungan saja. Karena sesungguhnya di sektor agraria (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) seperti pertanian, perikanan, pertambangan dan industri secara historis telah dieksploitasi dengan praktek-praktek kapitalistik. Jadi sesungguhnya perusakan lingkungan tak hanya dilakukan akhir-akhir saja, tapi sesungguhnya adalah rangkaian sejarah panjang penindasan mulai dari era kolonial. Namun adalah sangat logis jika dinyatakan kontribusi pemanasan global mulai sangat marak dari era neoliberal (1944 hingga sekarang).
Mengutip perkataan presiden pertama RI Soekarno, era penjajahan gaya baru inilah yang ditandaimode produksi yang mengerikan: asap-asap pabrik yang mengepul menghitamkan udara, jutaan hektar tanah yang dirangsek untuk perkebunan raksasa, gedung yang mencakarcakar langit, dan masifnya hutan yang dibabat. Kesemuanya bertujuan tunggal, demi laba sebesar-besarnya. Mode produksi ini tak kenal puas, tak kenal batas untuk tumbuh. Dan kita bisa lihat hasilnya, angka-angka yang hanya dinikmati segelintir perusahaan raksasa, negara miskin dan berkembang maju, lembaga keuangan internasional dan tentunya individu-individu pemilik kapital. Selama beberapa dekade neoliberalisme diejawantahkan model pembangunan global, dan selama itu pulalah proses pemanasan global sebenarnya telah diakselerasikan. Ada beberapa jalan neoliberalisme secara kebijakan dan praktek, namun secara singkat bisa kita mengerti dari kredo Konsensus Washington yakni (1) privatisasi; (2) deregulasi; dan (3) liberalisasi pasar.

Utang sebagai pangkal privatisasi dan deregulasi
Jika kita menilik poin pertama dan kedua dari Konsensus Washington, kita tidak bisa tidak melihat fenomena utang dan intervensinya terhadap negara miskin dan berkembang sebagai 5 praktek langsung neoliberalisme. Proyek dan program utang luar negeri atas sponsor lembaga kreditor seperti IMF, Bank Dunia, ADB, JBIC, dll telah menimbulkan biaya sosial-budaya dan ekonomi-politik yang sangat besar. Seperti pengusiran paksa, penggusuran, kerusakan lingkungan dan korupsi. Penemuan-penemuan empiris mengenai hal ini menyebutkan bahwa biaya yang ditanggung sebuah negara miskin dan berkembang untuk merehabilitasi dampak yang ditimbulkan akibat sebuah proyek utang justeru lebih besar dari utang baru yang diterima. Penyebabnya adalah kebijakan penyesuaian struktural lembaga-lembaga kreditor yang menghiraukan kapasitas negara peminjam untuk menanggungnya. Salah satu yang menyebabkan kebijakan seperti pengurangan subsidi, privatisasi, dan liberalisasi ekonomi justeru memperburuk kwalitas kehidupan rakyat. Sebuah laporan UNICEF menunjukan bahwa berbagai program penyesuaian struktural Bank Dunia dan IMF secara substansial bertanggung jawab atas menurunnya tingkat kesehatan, gizi, dan pendidikan puluhan juta anak di dunia ketiga. Di Indonesia, penyesuaian struktural menyebabkan semakin bertumpuknya utang luar negeri dan termasuk negara yang paling lambat keluar dari dampak krisis ekonomi 1997 – 1998. Beban utang yang besar juga memaksa negara miskin dan berkembang melakukan ekstraksi sumber daya alamnya untuk melayani pembayaran utang kepada negara imperialis(Amerika dan Uni Eropa). Apalagi, dampak perubahan iklim(bencana banjir, kekeringan, dan badai) menyebabkan negara miskin membutuhkan sumberdaya yang signifikan untuk merehabilitasi dampak dari bencana. Sebuah laporan yang dikeluarkan OXFAM, menyebutkan bahwa negara miskin membutuhkan setidaknya 50 miliar USD per tahun untuk program rehibilitasi dan perlindungan terhadap dampak perubahan iklim. Di tingkat domestik, hal ini berkorelasi dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan export sumber bahan mentah seperti karet, kopi, sawit, minyak dan gas. Sebuah tindakan untuk memenuhi hasrat kapital dengan mengorbankan hutan alam dan kerusakan lahan-lahan agraria akibat eksplorasi pertambangan di semua negara penghutang. Bukannya mengoreksi kebijakan keliru ini, hal ini ditanggapi secara serius oleh lembaga-lembaga keuangan internasional dengan memberikan utang baru untuk mengintensifkan dan memperluas jangkauan produksi industri-industri tersebut. Terhitung sejak tahun 1992 – 2004, grup Bank Dunia telah menyetujui skema utang sebesar 11 miliar USD untuk membiayai 128 proyek energi fosil di 45 negara miskin dan berkembang, termasuk ekstraksi, pembangkit listrik, serta kebijakan reformasi sektor energi. Hasil perhitungan yang telah dilakukan, proyek-proyek tersebut menyumbang sekitar 6 43,4 miliar ton emisi karbon dioksida bagi penduduk dunia. Parahnya, Hampir dari setengah dari proyek untuk minyak, gas, dan batubara yang disponsori bank dunia tersebut (dan lebih dari 80 persen proyek untuk minyak) didesain untuk memenuhi kebutuhan pasar global, terutama di Negara-negara imperialis. Dalam menjalankan proyek-proyek utang baru tersebut, pihakkreditor mewajibkan negara penghutang untuk menjalankan agenda-agenda penyesuaian struktural seperti melakukan privatisasi dan liberalisasi ekonomi. Misalnya agenda privatisasi air, program administrasi pertanahan, liberalisasi sektor migas dan pertambangan serta reformasi sektor kehutanan bagi masuknya investasi baru. Agenda tersebut pada kenyataannya justeru mendorong kerentanan terhadap lahirnya bencana ekologis baru di negara penghutang.
Perdagangan bebas
Ilustrasi untuk menggambarkan perdagangan bebas sebagai salah satu pemercepat pemanasan global tidaklah sulit. Mode produksi kapitalistik-neoliberal pada industri-industri(terutama pertanian, industri dan jasa) seperti yang telah dinyatakan di atas terus berkembang hingga menjadi raksasa. Aktor-aktor utamanya, yakni perusahaan transnasional raksasa (TNCs) tentunya menghasilkan produk yang luar biasa masifnya untuk dijual, dilempar, atau di-dumping ke pasar. Pasar di sini tentu tidak hanya negara asal penghasil misalnya negara maju macam AS dan Uni Eropa, namun juga menuju negara miskin di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Ini adalah ciri perekonomian global yang berjalan di atas mode produksi kapitalistik-neoliberal yang terus berekspansi, berorientasi ekspor, dan tak henti memburu pasar-pasar baru. Kita bisa lihat ilustrasinya dalam sektor pertanian, bahwa pangan—baik mentah maupun kemasan—didistribusikan melalui transportasi ke seluruh dunia dan bahkan kita sangat akrab dengan pangan impor yang tersedia di pasar domestik kita. Sangat gampang mendapatkan buah-buahan dari Cina atau New Zealand, beras impor Thailand, kedelai dan gandum dari AS, daging dan susu dari Australia misalnya. BBM yang dipergunakan untuk proses ini tentunya membuang emisi karbon ke atmosfer. Organisasi petani Swiss, UNITERRE, memperkirakan bahwa satu kilo asparagus yang diimpor dariMeksiko membutuhkan 5 liter BBM untuk ditransport via pesawat terbang (kurang lebih 11.800 kilometer) menuju Swiss. Sementara jika diproduksi lokal, asparagus di Swiss hanya membutuhkan 0.3 liter BBM untuk mencapai langsung ke konsumen. Kira-kira penggambaran kasusnya serupa dengan fenomena kedelai, buah, daging, dan gula impor ke Indonesia.
Hal serupa terjadi pada barang-barang produksi hasil industri. Barang-barang elektronik, besi dan baja, plastik dan pengolahan berbagai macam bahan mentah yang dihisap dari negara miskin dan berkembang, seluruhnya dilempar ke berbagai penjuru dunia. Praktek ini selain mengulangi mode produksi yang merusak lingkungan yang intensif-BBM, juga berdampak negatif terhadap aspek sosial-budaya dan ekonomi-politik rakyat di negara miskin dan berkembang. Dumping produk pertanian, industri dan jasa dari negara imperialis melalui perdagangan bebas mengakibatkan hancurnya harga dan pasar domestik. Akibatnya, rakyat di negara miskin dan berkembang terus menderita karena dibanjiri produk-produk murah hasil pertanian, industri dan jasa. Sementara produksi di tingkat domestik terancam. Aktoraktor yang berkolaborasi di dalamnya bukan hanya TNCs, namun juga berkolaborasi dengan lembaga keuangan internasional dan pemerintah negara miskin dan berkembang penganut ajaran neoliberal. Untuk yang terakhir, kebijakankebijakan di tingkat nasional tentunya sangat mempengaruhi apakah suatu negara membuka pasarnya terhadap perdagangan bebas atau tidak. Sudahlah negara miskin dan berkembang menerima dampak kebijakan ekonomi neoliberal yang keliru, seperti pembayaran utang yang besar, penghancuran pasar dan harga produksi lokal, bencana lingkungan, konflik sosial dan pelanggaran HAM, serta ”pengurasan” sumber daya alam. Mereka juga harus menanggung akibat langsung pemanasan global yang disebabkan oleh sumbangan emisi karbon dari model pertumbuhan ekonomi negara imperialis. Tabel. Daftar Nama TNCs, Korporasi Nasional serta ketidakadilan sosial dan ketidakdilan ekologi yang diakibatkan

Kapitalisme Vs Pemanasan Global

Banyak yang menganalisis bahwa pemanasan global adalah penyebab banjir, kekeringan, atau kelaparan yang mengancam planet dan umat manusia saat ini. Hal itu jelas salah kaprah, karena pemanasan global bukanlah fenomena baru, bukan pula fenomena yang terjadi tiba-tiba dari langit. Jika dianalisis secara mendalam, pemanasan global sesungguhnya bukanlah sebab, ia adalah akibat. Ia adalah akibat dari mode produksi kapitalistik. Mode produksi kapitalistik inilah yang seharusnya dianalisis lebih lanjut sebagai permasalahan utama yang menyebabkan pemanasan global. Analisis terhadap penyebab pemanasan global ini juga harus dilakukan secara holistik, tidak sektoral seperti saat ini yang cenderung mengambil sudut pandang lingkungan saja. Karena sesungguhnya di sektor agraria (bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) seperti pertanian, perikanan, pertambangan dan industri secara historis telah dieksploitasi dengan praktek-praktek kapitalistik. Jadi sesungguhnya perusakan lingkungan tak hanya dilakukan akhir-akhir saja, tapi sesungguhnya adalah rangkaian sejarah panjang penindasan mulai dari era kolonial. Namun adalah sangat logis jika dinyatakan kontribusi pemanasan global mulai sangat marak dari era neoliberal
Pernyataan Soekarno, gaya baru inilah yang ditandai mode produksi yang mengerikan: asap-asap pabrik yang mengepul menghitamkan udara, jutaan hektar tanah yang dirangsek untuk perkebunan raksasa, gedung yang mencakarcakar langit, dan masifnya hutan yang dibabat. Kesemuanya bertujuan tunggal, demi laba sebesar-besarnya.. Ada beberapa jalan neoliberalisme secara kebijakan dan praktek, namun secara singkat bisa kita mengerti dari kredo Konsensus Washington yakni, privatisasi, deregulasi, liberalisasi pasar.

HUTAN DAN PERUBAHAN IKLIM



Oleh : Anwar B Sabana

Secara paradigmatik permasalahan pembangunan yang akan dihadapi free trade , dimana isu hak asasi manusia, demokrasi dan lingkungan hidup,. Oleh karena itu Pengelolaan Lingkungan Hidup menuntut dilakukannya re-orientasi dan re-formulasi berbagai paradigma, kebijaksanaan, program dan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang selama ini telah dilaksanakan.

Kecenderungan manusia dengan pertumbuhannya yang sangat cepat menjadi faktor penyebab utama perubahan lingkungan ternyata telah terbukti. Meningkatnya tingkat gas-gas rumah kaca di atmosfir sebagai akibat meningkatnya kegiatan industri dan berkurangnya secara drastis kawasan hutan tropis karena ulah manusia adalah satu peringatan. bagi umat manusia dalam memasuki perdagangan bebas .

Tidak ada hal yang lebih penting bagi masyarakat agar dapat menjawab tantangan lingkungan yang dihadapi. Bukti-bukti signifikan menunjukkan bahwa cara-cara masyarakat mengkonsumsi isi sumberdaya alam mengakibatkan kerusakan keanekaragaman hayati yang sebenarnya merupakan landasan kehidupan manusia di muka bumi.

Gejala alam yang terjadi pada free trade ke dua menunjukkan berbagai kejanggalan sifat-sifat alam seperti perubahan iklim yang menyimpang dan merusak, sehingga menimbulkan kebakaran hutan, banjir, serta badai yang mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Ironisnya, pada masa lalu, gejala alam tersebut. namun pada masyarakat modern umat manusia menanggapi perubahan perilaku alam tersebut sebagai peringatan yang sangat serius bagi keberlangsungan kehidupan manusia. Tentu saja perubahan iklim merupakan salah satu aspek alam yang diperhatikan dalam kurun waktu ribuan tahun.

Alam tidak statis, akan tetapi saat ini secara nyata yang dihadapi umat manusia bukan melulu perubahan iklim, namun perubahan pola iklim global yang disebabkan oleh aktifitas umat manusia yang tidak bersifat alami. Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang, bumi secara perlahan-lahan telah mengabsorsi perubahan iklim dan beradaptasi dengan sistem-sistem baru untuk menyesuaikan dengan kondisi yang baru. Hutan selalu dapat digunakan sebagai barometer untuk perubahan-perubahan tersebut. Selama periode jaman es, misalnya, daerah tropis menjadi dingin dan kering, serta hutan-hutan tropis tersebut menjadi terkontraksi. Hal ini menyebabkan musim kering yang panjang, sehingga menimbulkan kelembaban yang tidak memungkinkan pertumbuhan dan serasah menjadi kering, menghasilkan hutan yang sangat rentan terhadap kebakaran yang berasal dari ladang-ladang ilalang di dekatnya.

Saat ini, ketika musim kering muncul lagi di wilayah tropis, kebakaran hutan tropis terutama disebabkan oleh api yang dipergunakan sebagai alat untuk mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian. Seperti yang kita saksikan saat ini di benua Asia dan Amerika Latin, praktek penggunaan api sebagai alat untuk pembukaan lahan, tidak hanya memusnahkan bakteri-bakteri yang ada di lahhan hutan tropis, namun juga menambah jumlah produksi karbon dioksida (CO2) secara signifikan sehingga menjadi penyebab perubahan iklim secara cepat serta mengancam hutan secara terus menerus.

Konversi hutan menjadi lahan pertanian, pemanenan hasil kayu hutan, dan pembukaan lahan hutan menyebabkan pelepasan neto CO2 ke dalam atmosfer. Estimasi para ahli FAO menyatakan deforestasi hutan tropis berkisar 3.3 - 20 juta ha setiap tahun. Pelepasan CO2 dari biota dan dari pembakaran bahan bakar fosil telah meningkatkan CO2 atmosfer dan telah mencapai puncaknya pada akhir abad 20.

Menurut data fao, Peningkatan CO2 atmosfer ini diperkirakan menyebabkan terjadinya pemanasan global, melalui “Efek Rumah Kaca” . Selanjutnya pemanasan global ini mengakibatkan perubahan pola iklim dunia yang cukup signifikan untuk berpengaruh terhadap distribusi lahan pertanian dan hutan, serta produktifitas pertanian. Peningkatan suhu udara global diperkirakan akan menyebabkan es-kutub mencair dan secara potensial dapat menaikkan permukaan air laut 3 – 5 meter dalam 100 – 200 tahun Perkiraan saat ini mengenai mekanisme CO2 - biotik adalah berkisar dari net-uptake sebesar 2.0 x 1015 g C hingga net-release 4.7 x 1015 g C.

Dalam ekosistem yang bervegetasi, sebagian besar solar-radiasi ditangkap oleh tajuk tumbuhan dan hanya sebagian kecil yang diteruskan dan direfleksikan kembali atau hilang. Oleh karena itu pelenyapan vegetasi, seperti penebangan hutan, akan meningkatkan secara drastis jumlah solar-radiasi yang mencapai permukaan tanah . Banyak bukti empiris menunjukkan bahwa pembukaan lahan hutan diikuti oleh lebih tingginya suhu udara siang hari. Suhu udara pada ekosistem hutan lebih rendah dibandingkan dengan ekosistem pertanian, perbedaan dapat mencapai 1.0 -–1.5oC. Hasil studi di Afrika Barat membuktikan bahwa suhu udara di daerah yang dibuka lebih tinggi sekitar 4oC dibandingkan dengan daerah hutan.









Pages

About this blog

Followers

Adsense Banner

Iklan

Jejak Kaki

Free Shoutbox by ShoutCamp